Thursday, February 23, 2006
Sandiwara Radio : Dari Kuping Turun Ke Hati
Saat Ibu hendak ke pasar, saya menyempatkan diri menyuruh beli sesuatu.
"Beli batere tengah dua biji ya, Bu."
Ibu saya tak berkomentar. Ia telah lama mafhum untuk apa batere sebanyak itu. Itu untuk radio transistor. Engkau bertanya untuk apa pula radio transistor? Dan kenapa pula harus memakai batere di saat rumah terang benderang oleh listrik?
Baik, saya ceritakan. Radio transistor untuk menangkap siaran dari sebuah stasiun radio di kabupaten sebelah yang memutar sandiwara radio. Kenapa mesti memakai batere? Sebab siaran radio dari kabupaten sebelah yang berada di jalur AM sangat lemah mengingat jarak yang berpuluh kilometer. Radio transistor bertenaga batere lebih sensitif menangkap siaran lemah tinimbang radio bertenaga listrik. Apa pasal entah.... Bisa ditanyakan pada ahli elektronik.
Saya memilih menyimak stasiun radio dari kabupaten sebelah kendati di kampung saya satu radio swasta juga memutar sandiwara yang sama. Mau tahu alasannya? Sebab sandiwara radio dari stasiun kabupaten seberang selalu satu seri lebih dulu dibanding dari stasiun radio tempat saya. Dengan demikian, di sekolah, saya bisa pamer menceritakan lanjutan kisah Babad Tanah Leluhur yang baru diputar di radio setempat esoknya. Dan teman-teman saya akan mendengarkan cerita saya dengan tekun dan penuh perhatian....
Jadi semata untuk sandiwara radio itulah Ibu membelikan saya batere. Ya, sandiwara radio. Jika Anda produk 80-an dan tinggal bukan di kota besar, Anda kemungkinan besar juga teracuni polusi sandiwara radio. Siapa yang tak kenal Brama Kumbara? Siapa yang meragukan kehebatan Sembara dengan cambuk kilatnya? Siapa yang tak merinding mendengar kikik Mak Lampir? Siapa yang tak mengakui kedigjayaan Mantili dengan pedang setan dan pedang peraknya? Dan siapa yang tak terpana mendengar penggambaran Lasmini yang cantik bahenol, genit namun sakti mandraguna? Tentang Mak Lampir ini, satu pertanyaan saya yang tak terjawab hingga kini : mengapa nenek siluman jahat yang satu ini demikian ceria dan bahagia? Setiap saat ia muncul selalu tak ketinggalan tawa yang mengikik. Tak sekali dua kali, melainkan nyaris sepanjang waktu. Sungguh, betapa periang nenek kita ini....
Legenda Bertabur Obat-Obatan
Kebanyakan sandiwara radio di era 80-an disponsori oleh perusahaan obat-obatan dan farmasi. Dan boleh dikatakan Kalbe Farma adalah yang tersukses dari sponsor-sponsor tersebut. Dua serial sandiwara radio Saur Sepuh dan Babad Tanah Leluhur usungan Kalbe Farma sukses memanen penggemar. Saur Sepuh dikemudikan oleh Niki Kosasih sementara ide cerita Babad Tanah Leluhur dilahirkan oleh Cece Suhyar (dengan teknik dan montase oleh Yadi Enos dan musik oleh Harry Sabar). Lalu di belakangnya tercatat PT Bintang Tudjuh dengan Api Di Bukit Menoreh (SH Mintarja) dan Tutur Tinular berserta sekuelnya Mahkota Mayangkara (S Tijab). Sementara PT Medifarma melahirkan Misteri dari Gunung Merapi dan sekuelnya Mustika dari Gunung Merapi (Asmadi Sjafar). Di belakang serial-serial ini, mengikut serial-serial lain yang juga sukses namun tak mampu menghimpun sebanyak pendengar serial-serial di atas. Tercatat Putri Cadar Biru (satu lagi dari Kalbe Farma), Misteri Gandrung Aru, Jaka Badak, Mahabrata, Kaca Benggala, Galang Gemilang, Ibuku Sayang Ibuku Malang, dan satu milik pemerintah yang berumur sangat panjang, Butir-Butir Pasir di Laut. Sebagaimana halnya iklan di teve, iklan obat di sandiwara radio pun biasanya menyelinap di saat-saat menegangkan. Dengan durasi 30 menit, umumnya selingan iklan muncul sebanyak tiga sampai empat kali. Di opening jingle sederet iklan pun diperdengarkan sebelum masuk ke dalam cerita. Hingga kini saya tak bisa mengenyahkan jingle iklan Kalpanax, Micorex, Procold, Promag, Entrostop, Puyer obat sakit kepala cap 19, Decolsin, Decolgen, dan sederet obat-obatan lainnya dari kepala saya. Ya, saya telah tercuci otak oleh iklan sandiwara radio.
Dan persaingan melahirkan benih pertikaian. Kalpanax (Kalbe Farma) dan Micorex (Bintang Tujuh), keduanya berjenis obat antipanu dan antikutu air, memperoleh lahan buat menjatuhkan pesaing. Kalpanax (dengan cairan berwarna merah) yang lebih dahulu hadir tersinggung saat Micorex meledek ketidakmanjuran obar berwarna merah dalam iklan radionya. Sebagai pembalasan Kalpanax balas meledek Micorex yang berwarna biru dengan sebutan : spiritus bakar untuk lampu petromax.
Dongeng Sejarah dan Aji Maha Sakti
Belakangan setelah kuliah saya baru mengerti dan mulai membangun teori mengapa sandiwara radio yang hanya mengandalkan kuping demikian lekat di hati rakyat jelata (dalam bahasa saur sepuh : kawula alit). Untuk rakyat kebanyakan, serial sandiwara radio yang kebanyakan berupa carangan (kisah fiktif yang menempel pada fakta sejarah) dianggap sebagai hiburan yang murah meriah, yang bahkan sering dianggap bagian dari sejarah itu sendiri. Saur Sepuh melekat pada sejarah kerajaan Majapahit dan Silihwangi, Babad Tanah Leluhur mendomplengi sejarah kerajaan Mataram Hindu, Tutur Tinular dan Mahkota Mayangkara berpegang pada babad kerajaan Singosari dan Majapahit (sama halnya dengan Misteri Gandrung Aru), sementara Api di Bukit Menoreh dan Putri Cadar Biru merujuk pada kerajaan Demak dan Mataram Islam. Putri Cadar Biru malah memilih latar perjuangan kerajaan Mataram Islam melawan penjajah asing.
Sementara untuk anak-anak, sandiwara radio menumbuhsuburkan imajinasi, melatih daya khayali yang terstimuli hanya dari telinga. Saat bermain silat-silatan, tak jarang terdengar teriakan : Cambuk kilat, hiaaat! Atau Ajian Serat Jiwa, ciaaat! Atau, terimalah ini : Pukulan Seribu Geledek Tegalan Turu, jeddeeerrrr! Ya, memalukan memang. Tapi demikianlah kanak-kanak. Saya sendiri waktu itu punya ajian sakti : Kincir Metu dan Banyucakrabuana dari serial Babad Tanah Leluhur. Untuk Kincir Metu, saya akan berputar-putar sembari maju menghampiri 'musuh', dan untuk Banyucakrabuana, saya akan berputar sekali, merentangkan tangan ke atas lalu mendorong ke depan (mirip-mirip kamehame). Tentu saja tak terjadi apa-apa saat saya melepaskan 'ajian sakti' tersebut, selain rasa pusing dan mual akibat berputar-putar terlalu lama....
Di sekolah pun racun sandiwara radio masih memperlihatkan pengaruhnya. Saat jam menggambar bebas, saya memilih menggambar tokoh favorit saya : Brama, dengan otot menonjol di sana-sini plus mahkota di kepala (kendati si Ferry Fadly pengisi suara bertubuh ceking mendekati kurus), Lasmini, dengan buah dada ekstra besar (setidaknya itu gambaran masa kecil saya tentang wanita penggoda), dan Mantili yang selalu menenteng pedang bak tukang jagal. Dan tentu saja pertengkaran antar teman di jam istirahat (yang kadang berakhir dengan perkelahian), tentang tokoh siapa yang lebih jago. Atau berlomba-lomba menebak-nebak kisah selanjutnya. Sebab tak ada yang mau mengalah, maka terkadang pertengkaran diselesaikan dengan berantem, dengan kepalan, zonder aji-ajian....
Mengagumkan, betapa sandiwara radio bisa membuat kita pulang ke rumah dengan bibir pecah dan mata lebam....
Merambah Layar Perak dan Layar Kaca
Lalu akhirnya sandiwara radio pun naik pangkat. Dengan penggemar di segenap pelosok tanah air, pihak produser mencium aroma bisnis. Maka lahirlah Saur Sepuh sebagai sandiwara radio pertama yang bermutasi dari radio ke layar perak dengan biaya besar-besaran dan kolosal (untuk ukuran Indonesia). Satria Madangkara menjadi judul pertama disusul Pesanggrahan Kramat, Kembang Gunung Lawu lalu Istana Atap Angin. Dan bagai berlomba-lomba semua produser berupaya menggarap proyek yang sama. Misteri Dari Gunung Merapi merayap ke layar perak dengan episode Penghuni Rumah Tua, Titisan Roh Nyai Kembang, dan Perempuan Berambut Api. Tutur Tinular tak mau ketinggalan juga turut merambah layar perak dengan episode Pedang Naga Puspa dan Naga Puspa Kresna.
Di layar kaca, jangan tanya lagi. Di akhir 80-an dan sepanjang 90-an ruang keluarga di rumah diserbu oleh visualisasi sandiwara radio ini. Nyaris semua sandiwara radio yang populer (dan tak cuma yang bertema laga) di seret ke layar kaca. Sinetron seri laga berlandas sandiwara radio dengan PT Gentabhuana Pitaloka sebagai panglimanya hadir mengisi jam-jam prime time layar kaca.
Dan saya? Saya menyimpan rasa gamang tentu saja. Sebab di layar perak dan di layar kaca visualisasi tokoh-tokoh kebanggaan saya memperoleh wujud. Dan saya harus bersiap kecewa. Sebab banyak hal yang berseberangan dengan imajinasi saya : Mantili tak secantik yang saya bayangkan, Lasmini tak berpayudara ekstrabesar, Brama versi layar lebar berkumis tebal, dan kenapa pula Mak Lampir bermuka hijau seperti keracunan?
Kini dengan serbuan sinetron dan penjajahan teve lewat infotainment perlahan-lahan semua tokoh yang terbangun di benak saya mencair, terganti dengan pribadi-pribadi membumi dan manusiawi. Hilang sudah sosok Mantili yang galak dan sakti, berganti dengan sosok Elly Ermawati si pengisi suara Mantili yang bercerai dengan suami dan diduga selingkuh dengan Benny G Harja (lawan mainnya di beberapa film), Fendy Pradhana yang bolak-balik memerankan Brama dan Sembara, dan Murti Sari Dewi yang juga bernasib sama memerankan Lasmini dan Sakawuni (dalam versi radio kedua tokoh ini memang diisi suara oleh satu orang : Ivonne Rose) Apa dikata, satu persatu tokoh-tokoh pujaan saya yang suci tak terjamah dalam imajinasi saya perlahan pudar, melebur menjadi artis-artis hiburan yang manusiawi, lengkap dengan segala intrik, masalah, berita dan rumor....
Dunia yang Lebih Sederhana
Runtuhnya gambaran tokoh-tokoh sandiwara dalam imajinasi saya membuat saya lambat-laun meninggalkan sandiwara radio. Terakhir saya masih sempat mengikuti Babad Tanah Leluhur hingga lahirnya generasi kedua Kayan Manggala, putra Anting Wulan dan Saka Palwaguna. Setelahnya saya memilih mundur, sebab saat itu bioskop telah menghadirkan visualisasi baru, dengan versi mereka (kebanyakan menuruti selera pasar), dan saya harus menurut pada selera produser dan saudara, tentang bagaimana wajah dan wujud jagoan-jagoan saya, bagaimana rupa Cambuk Kilat atau Pedang Naga Puspa Kresna, bagaimana bentuk Pesanggrahan Kramat dan Padepokan Gualarang....
Kadang-kadang saya masih merindukan masa di semuasanya masih demikian sederhana, masa di mana dunia hiburan (kanak-kanak) begitu lempang dan tak sesemrawut sekarang. Masa di mana di saat-saat tertentu kami duduk melingkar mengitari radio transistor dengan kuping terpasang cermat. Masa di mana suara derap kuda, denting pedang beradu, dahsyatnya dua aji kesaktian berjibaku, teriakan dan bentakan, menciptakan dunia sempurna dalam imajinasi saya tanpa perlu embel-embel visualisasi teve dan film. Masa di mana desah hangat Lasmini dari speaker radio saat ia merayu Brama, mewujudkan imaji Lasmini sebagai perempuan cantik, sintal, penggoda nomor wahid sekaligus sakti nan pilih tanding. Dan saya tak harus mendapati kenyataan bahwa di layar kaca, (pemeran) Lasmini, ternyata bermasalah dengan jerawat, kini tak sesingset dahulu dan mulai digelayuti lemak di sana-sini. Apa boleh buat, ilmu awet muda 'Lasmini' yang membuat brondong seperti Raden Bentar bertekuk lutut, ternyata kalah sakti menghadapi serbuan jerawat dan gelambir lemak.
Teknik dan Montase: EssoWenni
(sumber gambar : Rare Kungfu Movies)
Sekadar catatan kaki, sebagai pengingat masa kejayaan sandiwara radio saya tuliskan sekilas 'curriculum vitae' para tokoh utama.
Saur Sepuh
Tutur Tinular
Tutur Tinular kemudian berlanjut ke Mahkota Mayangkara, di mana tokoh Panji Ketawang, Ayu Wandira dan Ra Tanca (adik seperguruan Mei Shin) beranjak dewasa dan menjadi tokoh sentral dalam Mahkota Mayangkara.
Babad Tanah Leluhur
Mestika Dari Gunung Merapi
"Beli batere tengah dua biji ya, Bu."
Ibu saya tak berkomentar. Ia telah lama mafhum untuk apa batere sebanyak itu. Itu untuk radio transistor. Engkau bertanya untuk apa pula radio transistor? Dan kenapa pula harus memakai batere di saat rumah terang benderang oleh listrik?
Baik, saya ceritakan. Radio transistor untuk menangkap siaran dari sebuah stasiun radio di kabupaten sebelah yang memutar sandiwara radio. Kenapa mesti memakai batere? Sebab siaran radio dari kabupaten sebelah yang berada di jalur AM sangat lemah mengingat jarak yang berpuluh kilometer. Radio transistor bertenaga batere lebih sensitif menangkap siaran lemah tinimbang radio bertenaga listrik. Apa pasal entah.... Bisa ditanyakan pada ahli elektronik.
Saya memilih menyimak stasiun radio dari kabupaten sebelah kendati di kampung saya satu radio swasta juga memutar sandiwara yang sama. Mau tahu alasannya? Sebab sandiwara radio dari stasiun kabupaten seberang selalu satu seri lebih dulu dibanding dari stasiun radio tempat saya. Dengan demikian, di sekolah, saya bisa pamer menceritakan lanjutan kisah Babad Tanah Leluhur yang baru diputar di radio setempat esoknya. Dan teman-teman saya akan mendengarkan cerita saya dengan tekun dan penuh perhatian....
Jadi semata untuk sandiwara radio itulah Ibu membelikan saya batere. Ya, sandiwara radio. Jika Anda produk 80-an dan tinggal bukan di kota besar, Anda kemungkinan besar juga teracuni polusi sandiwara radio. Siapa yang tak kenal Brama Kumbara? Siapa yang meragukan kehebatan Sembara dengan cambuk kilatnya? Siapa yang tak merinding mendengar kikik Mak Lampir? Siapa yang tak mengakui kedigjayaan Mantili dengan pedang setan dan pedang peraknya? Dan siapa yang tak terpana mendengar penggambaran Lasmini yang cantik bahenol, genit namun sakti mandraguna? Tentang Mak Lampir ini, satu pertanyaan saya yang tak terjawab hingga kini : mengapa nenek siluman jahat yang satu ini demikian ceria dan bahagia? Setiap saat ia muncul selalu tak ketinggalan tawa yang mengikik. Tak sekali dua kali, melainkan nyaris sepanjang waktu. Sungguh, betapa periang nenek kita ini....
Legenda Bertabur Obat-Obatan
Kebanyakan sandiwara radio di era 80-an disponsori oleh perusahaan obat-obatan dan farmasi. Dan boleh dikatakan Kalbe Farma adalah yang tersukses dari sponsor-sponsor tersebut. Dua serial sandiwara radio Saur Sepuh dan Babad Tanah Leluhur usungan Kalbe Farma sukses memanen penggemar. Saur Sepuh dikemudikan oleh Niki Kosasih sementara ide cerita Babad Tanah Leluhur dilahirkan oleh Cece Suhyar (dengan teknik dan montase oleh Yadi Enos dan musik oleh Harry Sabar). Lalu di belakangnya tercatat PT Bintang Tudjuh dengan Api Di Bukit Menoreh (SH Mintarja) dan Tutur Tinular berserta sekuelnya Mahkota Mayangkara (S Tijab). Sementara PT Medifarma melahirkan Misteri dari Gunung Merapi dan sekuelnya Mustika dari Gunung Merapi (Asmadi Sjafar). Di belakang serial-serial ini, mengikut serial-serial lain yang juga sukses namun tak mampu menghimpun sebanyak pendengar serial-serial di atas. Tercatat Putri Cadar Biru (satu lagi dari Kalbe Farma), Misteri Gandrung Aru, Jaka Badak, Mahabrata, Kaca Benggala, Galang Gemilang, Ibuku Sayang Ibuku Malang, dan satu milik pemerintah yang berumur sangat panjang, Butir-Butir Pasir di Laut. Sebagaimana halnya iklan di teve, iklan obat di sandiwara radio pun biasanya menyelinap di saat-saat menegangkan. Dengan durasi 30 menit, umumnya selingan iklan muncul sebanyak tiga sampai empat kali. Di opening jingle sederet iklan pun diperdengarkan sebelum masuk ke dalam cerita. Hingga kini saya tak bisa mengenyahkan jingle iklan Kalpanax, Micorex, Procold, Promag, Entrostop, Puyer obat sakit kepala cap 19, Decolsin, Decolgen, dan sederet obat-obatan lainnya dari kepala saya. Ya, saya telah tercuci otak oleh iklan sandiwara radio.
Dan persaingan melahirkan benih pertikaian. Kalpanax (Kalbe Farma) dan Micorex (Bintang Tujuh), keduanya berjenis obat antipanu dan antikutu air, memperoleh lahan buat menjatuhkan pesaing. Kalpanax (dengan cairan berwarna merah) yang lebih dahulu hadir tersinggung saat Micorex meledek ketidakmanjuran obar berwarna merah dalam iklan radionya. Sebagai pembalasan Kalpanax balas meledek Micorex yang berwarna biru dengan sebutan : spiritus bakar untuk lampu petromax.
Dongeng Sejarah dan Aji Maha Sakti
Belakangan setelah kuliah saya baru mengerti dan mulai membangun teori mengapa sandiwara radio yang hanya mengandalkan kuping demikian lekat di hati rakyat jelata (dalam bahasa saur sepuh : kawula alit). Untuk rakyat kebanyakan, serial sandiwara radio yang kebanyakan berupa carangan (kisah fiktif yang menempel pada fakta sejarah) dianggap sebagai hiburan yang murah meriah, yang bahkan sering dianggap bagian dari sejarah itu sendiri. Saur Sepuh melekat pada sejarah kerajaan Majapahit dan Silihwangi, Babad Tanah Leluhur mendomplengi sejarah kerajaan Mataram Hindu, Tutur Tinular dan Mahkota Mayangkara berpegang pada babad kerajaan Singosari dan Majapahit (sama halnya dengan Misteri Gandrung Aru), sementara Api di Bukit Menoreh dan Putri Cadar Biru merujuk pada kerajaan Demak dan Mataram Islam. Putri Cadar Biru malah memilih latar perjuangan kerajaan Mataram Islam melawan penjajah asing.
Sementara untuk anak-anak, sandiwara radio menumbuhsuburkan imajinasi, melatih daya khayali yang terstimuli hanya dari telinga. Saat bermain silat-silatan, tak jarang terdengar teriakan : Cambuk kilat, hiaaat! Atau Ajian Serat Jiwa, ciaaat! Atau, terimalah ini : Pukulan Seribu Geledek Tegalan Turu, jeddeeerrrr! Ya, memalukan memang. Tapi demikianlah kanak-kanak. Saya sendiri waktu itu punya ajian sakti : Kincir Metu dan Banyucakrabuana dari serial Babad Tanah Leluhur. Untuk Kincir Metu, saya akan berputar-putar sembari maju menghampiri 'musuh', dan untuk Banyucakrabuana, saya akan berputar sekali, merentangkan tangan ke atas lalu mendorong ke depan (mirip-mirip kamehame). Tentu saja tak terjadi apa-apa saat saya melepaskan 'ajian sakti' tersebut, selain rasa pusing dan mual akibat berputar-putar terlalu lama....
Di sekolah pun racun sandiwara radio masih memperlihatkan pengaruhnya. Saat jam menggambar bebas, saya memilih menggambar tokoh favorit saya : Brama, dengan otot menonjol di sana-sini plus mahkota di kepala (kendati si Ferry Fadly pengisi suara bertubuh ceking mendekati kurus), Lasmini, dengan buah dada ekstra besar (setidaknya itu gambaran masa kecil saya tentang wanita penggoda), dan Mantili yang selalu menenteng pedang bak tukang jagal. Dan tentu saja pertengkaran antar teman di jam istirahat (yang kadang berakhir dengan perkelahian), tentang tokoh siapa yang lebih jago. Atau berlomba-lomba menebak-nebak kisah selanjutnya. Sebab tak ada yang mau mengalah, maka terkadang pertengkaran diselesaikan dengan berantem, dengan kepalan, zonder aji-ajian....
Mengagumkan, betapa sandiwara radio bisa membuat kita pulang ke rumah dengan bibir pecah dan mata lebam....
Merambah Layar Perak dan Layar Kaca
Lalu akhirnya sandiwara radio pun naik pangkat. Dengan penggemar di segenap pelosok tanah air, pihak produser mencium aroma bisnis. Maka lahirlah Saur Sepuh sebagai sandiwara radio pertama yang bermutasi dari radio ke layar perak dengan biaya besar-besaran dan kolosal (untuk ukuran Indonesia). Satria Madangkara menjadi judul pertama disusul Pesanggrahan Kramat, Kembang Gunung Lawu lalu Istana Atap Angin. Dan bagai berlomba-lomba semua produser berupaya menggarap proyek yang sama. Misteri Dari Gunung Merapi merayap ke layar perak dengan episode Penghuni Rumah Tua, Titisan Roh Nyai Kembang, dan Perempuan Berambut Api. Tutur Tinular tak mau ketinggalan juga turut merambah layar perak dengan episode Pedang Naga Puspa dan Naga Puspa Kresna.
Di layar kaca, jangan tanya lagi. Di akhir 80-an dan sepanjang 90-an ruang keluarga di rumah diserbu oleh visualisasi sandiwara radio ini. Nyaris semua sandiwara radio yang populer (dan tak cuma yang bertema laga) di seret ke layar kaca. Sinetron seri laga berlandas sandiwara radio dengan PT Gentabhuana Pitaloka sebagai panglimanya hadir mengisi jam-jam prime time layar kaca.
Dan saya? Saya menyimpan rasa gamang tentu saja. Sebab di layar perak dan di layar kaca visualisasi tokoh-tokoh kebanggaan saya memperoleh wujud. Dan saya harus bersiap kecewa. Sebab banyak hal yang berseberangan dengan imajinasi saya : Mantili tak secantik yang saya bayangkan, Lasmini tak berpayudara ekstrabesar, Brama versi layar lebar berkumis tebal, dan kenapa pula Mak Lampir bermuka hijau seperti keracunan?
Kini dengan serbuan sinetron dan penjajahan teve lewat infotainment perlahan-lahan semua tokoh yang terbangun di benak saya mencair, terganti dengan pribadi-pribadi membumi dan manusiawi. Hilang sudah sosok Mantili yang galak dan sakti, berganti dengan sosok Elly Ermawati si pengisi suara Mantili yang bercerai dengan suami dan diduga selingkuh dengan Benny G Harja (lawan mainnya di beberapa film), Fendy Pradhana yang bolak-balik memerankan Brama dan Sembara, dan Murti Sari Dewi yang juga bernasib sama memerankan Lasmini dan Sakawuni (dalam versi radio kedua tokoh ini memang diisi suara oleh satu orang : Ivonne Rose) Apa dikata, satu persatu tokoh-tokoh pujaan saya yang suci tak terjamah dalam imajinasi saya perlahan pudar, melebur menjadi artis-artis hiburan yang manusiawi, lengkap dengan segala intrik, masalah, berita dan rumor....
Dunia yang Lebih Sederhana
Runtuhnya gambaran tokoh-tokoh sandiwara dalam imajinasi saya membuat saya lambat-laun meninggalkan sandiwara radio. Terakhir saya masih sempat mengikuti Babad Tanah Leluhur hingga lahirnya generasi kedua Kayan Manggala, putra Anting Wulan dan Saka Palwaguna. Setelahnya saya memilih mundur, sebab saat itu bioskop telah menghadirkan visualisasi baru, dengan versi mereka (kebanyakan menuruti selera pasar), dan saya harus menurut pada selera produser dan saudara, tentang bagaimana wajah dan wujud jagoan-jagoan saya, bagaimana rupa Cambuk Kilat atau Pedang Naga Puspa Kresna, bagaimana bentuk Pesanggrahan Kramat dan Padepokan Gualarang....
Kadang-kadang saya masih merindukan masa di semuasanya masih demikian sederhana, masa di mana dunia hiburan (kanak-kanak) begitu lempang dan tak sesemrawut sekarang. Masa di mana di saat-saat tertentu kami duduk melingkar mengitari radio transistor dengan kuping terpasang cermat. Masa di mana suara derap kuda, denting pedang beradu, dahsyatnya dua aji kesaktian berjibaku, teriakan dan bentakan, menciptakan dunia sempurna dalam imajinasi saya tanpa perlu embel-embel visualisasi teve dan film. Masa di mana desah hangat Lasmini dari speaker radio saat ia merayu Brama, mewujudkan imaji Lasmini sebagai perempuan cantik, sintal, penggoda nomor wahid sekaligus sakti nan pilih tanding. Dan saya tak harus mendapati kenyataan bahwa di layar kaca, (pemeran) Lasmini, ternyata bermasalah dengan jerawat, kini tak sesingset dahulu dan mulai digelayuti lemak di sana-sini. Apa boleh buat, ilmu awet muda 'Lasmini' yang membuat brondong seperti Raden Bentar bertekuk lutut, ternyata kalah sakti menghadapi serbuan jerawat dan gelambir lemak.
Teknik dan Montase: EssoWenni
(sumber gambar : Rare Kungfu Movies)
Sekadar catatan kaki, sebagai pengingat masa kejayaan sandiwara radio saya tuliskan sekilas 'curriculum vitae' para tokoh utama.
Saur Sepuh
- Brama Kumbara
Murid Eyang Astagina dengan jabatan Raja Madangkara, Ajian andalan : Gelang-Gelang, Serat Jiwa, Waringin Sungsang dan Lapah Lumpuh, dan yang paling anyar ajian Ciptadewi (untuk menandingi Ciptadewa Lasmini). Brama Kumbara beristri dua : Harnum (dan Pramita. Kelak dari kedua istri ini lahir generasi kedua Saur Sepuh : Raden Bentar, Garnis, Raden Wanapati. Turut bergabung Anjani (anak Lasmini) dan Raden Paksi Jaladara (anak Mantili). - Mantili
Adik seibu Brama Kumbara. Pembela kebenaran, meski sedikit pemberang dan judes. Menguasai Serat Jiwa meski tak sempurna, bersenjatakan pedang setan yang mengeluarkan hawa racun berbau busuk, dan pedang perak yang memancarkan sinar menyilaukan dan membutakan. Juga menguasai jurus srigunting yang diajarkan Brama untuk menandingi Lasmini. Kelak dalam pertarungan puncak, Mantili harus mendapati kenyataan bahwa Lasmini ternyata juga menguasai penangkis srigunting. Dalam kebingungan, Mantili menyatukan pedang setan dan pedang perak, yang membuat Lasmini dan muridnya Yulidar kalah telak! - Lasmini.
Perempuan penggoda, menyimpan dendam pada Brama akibat cinta yang kandas sebelum terbalas. Murid tunggal Nenek Lawu. Menguasai banyak ilmu terutama ilmu pelet, pengasihan, dan sirep (Aji Megananda). Ilmu pamungkasnya adalah Ciptadewa ciptaan Nenek Lawu yang merupakan gabungan ajian Serat Jiwa, Waringin Sungsang dan Lampah Lumpuh.
Lasmini mendirikan sebuah perguruan bernama Anggrek Indah di Gunung Lawu. Satu jurus andalannya Kembang Seribu diajarkannya kepada semua murid-muridnya dan menjadi jurus wajib perguruan ini. Lasmini juga mendirikan Istana Atap Langit yang menjadi salah satu judul episode Saur Sepuh. Dan Episode Langit Membara di Bumi Jamparing menandai berakhirnya era Brama, Mantili dan Lasmini berlanjut dengan generasi ke dua, Raden Bentar dan kawan-kawan. Diceritakan tokoh-tokoh Brama, Mantili, dan kedua istrinya bertapa di suatu tempat yang hanya diketahui oleh anak-anak mereka (mungkin semacam suwung, ruang antara ada dan tiada di dimensi lain).
Tutur Tinular
- Arya Kamandanu
Pemuda lugu dari desa Kurawan. Anak kedua dari Mpu Hangareksa. memiliki aji Saeti Angin (yang membuat tubuhnya seringan kapas dan gerakannya secepat angin) ajaran Mpu Ranubhaya, guru sekaligus pamannya. Mewarisi pedang Naga Puspa ciptaan gurunya, pedang liar yang mampu membuat orang-orang sekelilingnya mengejang kaku dan tak dapat bergerak. Kelak setelah tergigit oleh siluman naga puspa, Kamandanu menguasai ajian Naga Puspa Kresna.
Kamandanu menaruh hati kepada empat perempuan. Yang pertama kepada Nari Ratih, gadis dari desa Menguntur, yang kemudian dinikahi oleh Arya Dwipangga, kakak kandung Arya Kamandanu. Yang kedua kepada Mei Shin, perempuan pelarian dari tanah Cina yang kemudian 'dinodai' (mind my languange!) oleh Arya Dwipangga hingga hamil. Yang ketiga kepada Luh Jinggan, anak perempuan Mpu Lungga (yang mengajarinya ajian Naga Puspa Kresna). Cinta ini juga tak kesampaian. Yang keempat kepada Sakawuni, kolega sesama pendekar, putri Dewi Tunjung Biru, yang akhirnya dinikahinya. Dari pernikahannya ini Kamandanu beroleh seorang putra. Kelak setelah Singosari runtuh, Kamandanu menjadi senopati Majapahit. - Arya Dwipangga.
Putra sulung Mpu Hanggareksa, mahir dalam bersyair. Mudah jatuh cinta pada perempuan cantik, meski perempuan itu kekasih adiknya sendiri. Pada awalnya tak tertarik dengan ilmu kanuragan. Namun saat ia jatuh ke sumur tua (terhajar hingga cacat oleh Kamandanu yang murka akibat ulah si kakak yang menyakiti semua perempuan yang dicintai Kamandanu), ia bertemu dengan sosok tua misterius yang mengajarinya ilmu kanuragan. Kelak setelah lulus, Arya Dwipangga muncul kembali ke dunia nyata dan menyandang titel Pendekar Syair Berdarah, dengan senjata andalan Pedang Bulan Sabit Kembar. Memendam dendam tak terkira pada Arya Kamandanu yang telah membuatnya cacat.
Dwipangga memperoleh putra dari Nari Ratih (yang mati merana), bernama Panji Ketawang. Sementara dari Mei Shin yang dinodainya (again watch my language), Arya Dwipangga beroleh putri bernama Ayu Wandira yang kelak diangkat murid oleh Nini Ragarunting dan mewarisi ilmu selendang sakti Emban Gendong Momongan - Mei Shin.
Pendekar perempuan berdarah Tionghoa. Bersama suaminya Lo Shi Shan, merupakan sepasang pelarian dari tanah Tiongkok. Dikejar-kejar oleh tentara kaisar cina lantaran membantu meloloskan Mpu Ranubhaya yang menjadi tawanan balatentara cina. Dalam pelarian mereka terpaksa menerima titipan Pedang Naga Puspa milik Mpu Ranubhaya (pedang ini sebenarnya pesanan kaisar cina yang memaksa Mpu Ranubhaya untuk membuat senjata sakti).
Terdampar di pulau Jawa (hebatnya keduanya tiba-tiba mahir berbahasa Indonesia), Mei Shin dan suaminya juga menjadi buronan tentara Singosari. Setelah suaminya tewas, Mei Shin yang terlunta-lunta ditampung oleh Kamandanu. Benih cinta yang tertanam terbentur oleh peristiwa dinodainya (this the last one, I hope!) Mei Shin oleh Dwipangga dengan cara licik. Dalam keadaan hamil Mei Shin kembali terlunta-lunta sebelum ditemukan oleh Nini Ragarunting. Hanya beberapa saat setelah melahirkan Mei Shin harus bertarung dengan prajurit singosari dan terluka parah (hingga nyaris mati) oleh Dewi Sambi (terkenal dengan pukulan Tapak Wisa-nya). Kamandanu, melihat keadaan Mei Shin, putus asa dan mengira Mei Shin telah tewas.
Namun 'jasad' Mei Shin diam-diam diambil seorang tabib bernama Tuan Wong yang berhasil menghidupkan Mei Shin, mengangkat Mei Shin sebagai murid dan mengaruniainya ilmu Kabegjan (semacam ilmu kebatinan yang membuat pemiliknya tak pernah celaka, sepanjang si pemilik tak berdusta kepada diri sendiri). Mei Shin dikemudian hari terkenal sebagai tabib nomor satu dan berganti nama menjadi Nyai Paricara.
Tutur Tinular kemudian berlanjut ke Mahkota Mayangkara, di mana tokoh Panji Ketawang, Ayu Wandira dan Ra Tanca (adik seperguruan Mei Shin) beranjak dewasa dan menjadi tokoh sentral dalam Mahkota Mayangkara.
Babad Tanah Leluhur
- Saka Palwaguna.
Murid kedua dari dari perguruan Goalarang. Tergabung dalam kelompok Ning Sewu. Menguasai ajian Kincir Metu hingga tingkat ke-8. Berwatak jujur, lugu dan lembut. Mencintai Intan Pandini sepenuh hati, tanpa pernah tahu jika adik seperguruannya, Anting Wulan, juga menaruh hati padanya.
Dalam suatu insiden yang serba kebetulan, Intan Pandini tewas di tangan Anting Wulan, yang membuat Saka Palwaguna menaruh dendam pada adik seperguruannya. Dalam petualangannya, Saka Palwaguna hilang ingatan, dan jatuh bangun kasmaran pada seorang janda bernama Neng yang disangkanya Intan Pandini.
Kelak dendam pada anting Wulan berubah cinta, dan Saka Palwaguna berjodoh dengan Anting Wulan. Sebelum mengawini Anting Wulan, Sakapalwaguna menguasai ajian Jalasukma yang mampu melumpuhkan musuh tanpa melukai. Jalasukma adalah ilmu (kitab) yang diturunkan oleh Resi Sanatadharma kepada cucunya Anting Wulan, yang malah memberikannya kepada Saka Palwaguna sebagai prasyarat perkawinan. - Anting Wulan.
Murid paling bungsu dari kelompok Ning Sewu (setelah Seta Keling, Saka Palwaguna, dan Dampu Awuk). Menguasai Kincir Metu tingkat ke-6. Dalam suatu pertempuran akbar di Bukit Tengkorak melawan Jerangkong Hidup, AntingWulan terperosok ke dalam goa bawah tanah dan mendapatkan salinan ajian Banyucakrabuana di dinding goa. Hanya menguasai pembukaannya, ilmu Anting Wulan meningkat pesat.
Dalam pengembaraannya menghindari Saka Palwaguna (yang saat itu tengah mencari-carinya akibat salah paham yang menyebabkan tewasnya Intan Pandini kekasih Saka Palwaguna), Anting Wulan bentrok dengan Prabu Sana, yang menguasai Banyucakrabuana tingkat pertama, dan memiliki kujang Cakrabuana. Penasaran, Anting Wulan kembali ke goa bawah tanah di bukit tengkorak dan menguasai ajian Banycakrabuana tingkat ke dua. Melalui pengalaman gaib saat mendalami ajian Banyucakrabuana Anting Wulan bertemu dengan Dewi Laut Kidul yang kemudian menjadi guru dan penasehat spiritualnya.
Dalam episode Rahasia Puncak Gunung Wukir Anting Wulan bersua dengan siluman ular emas dalam wujud pedang Ular Emas yang kelak menyengsarakan hidupnya, menghancurkan perkawinannya dengan Sakapalwaguna, dan membuatnya harus mengasingkan diri dan berganti nama menjadi Nyai Kembang Hitam. - Raden Purbaya.
Putra mahkota kerajaan Karangsedana yang digulingkan. Terusir dari istana, Purbaya mengembara ditemani emban pengasuhnya yang setia, Cempaka. Sempat 'mengecap pendidikan' di padepokan Gualarang, Purbaya dan Cempaka diangkat murid oleh tokoh misterius bernama Mamang Kuraya. Dari tokoh ini, keduanya mendapatkan ilmu Semadi Dewa Gila (yang menjadi tandingan ilmu Kelelawar Sakti milik Jerangkong Hidup).
Hal yang misterius dari diri Purbaya dan juga Cempaka adalah bahwa dalam keadaan terancam maut sosok penuh cahaya tiba-tiba bangkit dari dalam tubuh mereka dan menyelamatkan nyawa mereka. Tak kurang Reshi Amista, (penjahat paling berbahaya dalam serial ini, yang memiliki aji Pancawayang dan Rawarontek yang menyebabkan ia nyaris tak bisa mati) selalu bertekuk lutut oleh sosok cahaya penuh misteri yang bersemayam dalam tubuh Purbaya dan Cempaka ini.
Kelak,diketahui bahwa sosok agung bercahaya dalam diri Purbaya adalah Sang Hyang Wishnu sementara dalam tubuh Cempaka sendiri bersemayam Nyai Pohaci (Dewi Sri). Kasihan Reshi Amista, tak menyadari kalau ia tak bakalan menang melawan sepasang suami istri dewa-dewi ini. Udah jelas, nggak level kan?
Mestika Dari Gunung Merapi
- Sembara.
Murid Kakek Jabat dari puncak gunung Merapi. Sakti mandraguna bersenjatakan Cambuk Kilat (di sinetron nama cambuk berubah menjadi Cambuk Amal Rasuli). Menjalin kasih sehidup semati dengan Farida, meski terkadang Rindi Antika yang memendam cinta pada Sembara, membayang-bayangi. Musuh bebuyutan para setan dan siluman jahat, Sembara juga memiliki ilmu Selimut Kabut, semacam aji halimunan yang membuat Sembara tak kasat mata. - Faridha.
Pada mulanya gadis lemah dan tak berdaya, dan hanya menjadi bulan-bulanan para tokoh jahat. Namun setelah berguru pada Nyai Bidara dari puncak bukit Bidara, Faridha menguasai ilmu Lembayung Senja, sejenis ilmu pukulan yang membuat korban yang terkena mati dengan tubuh berwarna lembayung. Faridha juga menguasai ilmu Semilir Angin, ilmu sejenis halimunan yang tak beda jauh dengan selimut kabut. Cambuk Kilat, Selimut Kabut, dan Semilir Angin adalah ilmu yang termasuk mudah. Cukup dengan menyebut 'Cambuk Kilat/Selimut Kabut/Semilir Angin, datanglah' maka senjata atau ilmu tersebut akan datang. Sepanjang pengetahuan saya, senjata dan ilmu-ilmu tadi tak pernah alpa 'memenuhi' panggilan. - Mak Lampir.
Villain of the villains, biang dari segala tokoh jahat sekaligus nenek paling ceria di muka bumi (senantiasa ketawa mengikik di segala kesempatan). Konon merupakan penjelmaan seorang perempuan yang mati penasaran, nenek 'berbahagia' ini menyebar teror di muka bumi. Menghuni Rumah Tua dan Hutan Larangan. Dikokohkan sebagai musuh bebuyutan Sembara, Mak Lampir tak pernah tuntas punah saat terjadi pertempuran antar kedua tokoh ini. Selalu saja lolos. Nenek yang juga selalu beruntung....